MODUL 9 SEJARAH KELAS XI / PAKET C / SETARA SMA IPS
MODUL 9 - PERLAWANAN BANGSA INDONESIA TERHADAP IMPERIALISME DAN KOLONIALISME
UNIT 1
A. SEJARAH LATAR BELAKANG PENJAJAH DATANG KE NUSANTARA (INDONESIA)
Sejarah dan Latar Belakang Dalam buku Principles of Political Geography (1957) yang ditulis oleh Weigert dan W. Hans, disebutkan bahwa pada 7 Juni 1494 disepakati Perjanjian Tordesilas oleh Portugis dan Spanyol. Perjanjian ini merupakan kesepakatan pembagian dunia antara dua kerajaan Katolik di Eropa paling berpengaruh saat itu, yakni Portugis dan Spanyol. Kerajaan Portugis menguasai dunia timur, sedangkan Kerajaan Spanyol menguasai dunia barat, yang ditentukan lewat perhitungan khusus. Perjanjian Tordesilas sebenarnya merupakan gagasan Paus Alexander VI dari Vatikan sebagai solusi atas persaingan dua kerajaan Katolik itu. Ia mengeluarkan kebijakan atau fatwa gold, glory, dan gospel alias 3G. Dengan demikian, tujuan Portugis dan Spanyol melakukan penjelajahan samudera, selain untuk memperoleh kekayaan (gold) dan kejayaan (glory), juga mengusung misi menyebarkan agama (gospel).
Aksi eksplorasi yang dilakukan bangsa Portugis dan Spanyol itu mencakup hampir seluruh bagian dunia, termasuk Kepulauan Nusantara atau yang kemudian menjadi wilayah negara Indonesia. Kedatangan pertama bangsa Portugis di Nusantara adalah pada awal abad ke-16 M. Berhasil menguasai Malaka, Afonso de Albuquerque memerintahkan kapal-kapal yang pertama datang untuk melakukan pelayaran mencari kepulauan rempah-rempah. Rombongan yang dipimpin Alfonso de Albuquerque tiba di Maluku pada 1512. Di sana Portugis disambut baik oleh Kerajaan Ternate yang sedang bertikai dengan Kerajaan Tidore. Di sana Portugis diizinkan untuk membangun sebuah benteng di wilayah Ternate.
Benteng tersebut diberi nama Benteng Sao Paolo. Rajanya Rempah-rempah Dunia Ada di Indonesia Kesempatan itu dimanfaatkan dengan baik oleh Portugis. Selain membantu Kerajaan Ternate melawan Kerajaan Tidore, Portugis secara berlahan mulai memonopoli perdagangan yang ada di Ternate.
B. PERLAWANAN BANGSA INDONESIA TERHADAP PENJAJAH (PORTUGIS)
1) Perlawanan Kesultanan Ternate
Kebijakan monopoli perdagangan yang dilakukan bangsa Portugis membuat rakyat Ternate di bawah pimpinan Sultan Hairun melakukan perlawanan terhadap bangsa Portugis. Sultan Hairun kemudian ditangkap dan dihukum mati pada 1570. Perjuangannya dilanjutkan oleh Sultan Baabullah. Di bawah Baabullah, bangsa Portugis berhasil diusir dari Maluku pada tahun 1575. Bangsa Portugis lalu menyingkir ke Pulau Timor dan berkuasa di Timor Timur sampai menjelang akhir abad XX.
2) Perlawanan Kesultanan Demak
Monopoli perdagangan yang dilakukan bangsa Portugis di Malaka, membuat aktivitas perdagangan para saudagar muslim di tempat itu terganggu. Hal ini memicu solidaritas dari Kesultanan Demak, baik terhadap Kesultanan Malaka maupun terhadap para saudagar muslim. Khawatir akan ekspansi Portugis di Pulau Jawa, maka Demak yang saat itu dipimpin oleh Sultan Trenggono terlebih dahulu menyerang Sunda Kelapa pada tahun 1526 dan berhasil menguasainya. Pada 1527, tanpa menyadari terjadi perubahan kekuasaan di Sunda Kelapa, bangsa Portugis tiba untuk membangun benteng. Selanjutnya, Demak di bawah pimpinan Fatahillah berhasil mengusir bangsa Portugis. Atas kemenangan itu, Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta yang berarti kemenangan yang gemilang.
3) Perlawanan Kesultanan Aceh
Sultan Ali Mughayat Syah yang memrintah antara 1514- 1530 berhasil mengusir Portugis dari wilayah Aceh. Selanjutnya, Sultan Alaudin Riayat Syah al-Qahar (1538- 1571) menentang kekuatan Porutgis dengan bantuan Turki. Penggantinya, Sultan Alaudin Riayat Syah, juga menyerang bangsa Portugis di Malaka tahun 1673 dan 1575, Sultan Iskandar Muda (1607-1638) pernah dua kali menyerang bangsa Portugis di Malaka, yaitu pada tahun 1615 dan 1629 dan berhasil mengusir Portugis. Meskipun tidak berhasil mengusir bangsa Portugis dari Malaka, perlawanan rakyat Aceh terhadap bangsa tetap berlanjut hingga Malaka jatuh ke tangan VOC pada tahun 1641.
C. PERLAWANAN BANGSA INDONESIA TERHADAP PENJAJAH ( VOC )
1) Perlawanan Kesultanan Mataram
Awalnya hubungan antara Kesultanan Mataram dan VOC barjalan baik. Mataram mengijinkan VOC mendirikan benteng (loji) sebagai kantor perwakilan dagang di daerah Jepara. Lama-kelamaan, Mataram di bawah Sultan Agung menyadari bahwa kehadiran VOC di wilayahnya sangat membahayakan pemerintahannya. Serangan pertama pada 1628 gagal. Tidak kurang dari 1.000 prajurit Mataram gugur ketika itu. Sementara itu, serangan kedua berlangsung pada Agustus – Oktober tahun 1629. Serangan ini juga mengalami kegagalan, antara lain karena kalah persenjataan, kurangnya persediaan makanan (lumbunglumbung persediaan makanan yang dipersiapkan di Tegal, Cirebon, dan Karawang dimusnahkan oleh VOC, sementara jarak Mataram-Batavia terlalu jauh), serta wabah penyakit yang menyerang pasukan Mataram.
2) Perlawanan Kesultanan Gowa atau Makasar
Perang melawan VOC diawali dengan perlucutan dan perampasan terhadap armada VOC di Maluku oleh pasukan Hasanuddin. Tindakan ini memicu perang, yang kemudian dikenal dengan nama Perang Makasar (1666-1669). Dalam perang itu, VOC bersekutu dengan raja Bone yang menjadi seteru Gowa yang bernama Arung Palaka (pada waktu itu Bone berada di bawah kekuasaan Gowa).
3) Perlawanan Kesultanan Banten
Persaingan dagang dengan VOC di Batavia yang menganggap Banten sebagai ancaman. Rongrongan VOC terhadap politik Kerajaan Banten. Tokoh yang memimpin perlawanan terhadap VOC adalah Sultan Ageng Tirtayasa (1652-1682). Dalam upayanya melawan VOC, Sultan Ageng Tirtayasa mencoba bekerja sama dengan pedagang-pedagang asing lainnya, seperti pedagang Inggris. Sultan Ageng Tirtayasa juga menyerang kapal-kapal dagang VOC di perairan Banten dan wilayah perbatasan dengan Batavia, seperti peperangan di daerah Angke dan Tangerang tahun 1658-1659. Perang yang berlangsung selama setahun itu berakhir dengan perjanjian damai pada 10 Juli 1659. VOC melawan serangan Sultan Ageng dengan mendirikan benteng-benteng pertahanan di Batavia dan memblokade pelabuhan-pelabuhan dagang Banten.
D. PERLAWANAN BANGSA INDONESIA TERHADAP PENJAJAH ( HINDIA-BELANDA )
1) Perlawanan Rakyat Maluku
Perlawanan rakyat Maluku dilatarbelakangi ketidakinginan mereka akan kedatangan kembali orang-orang Belanda di wilayah tersebut. Pada tahun 1810-1816, Hindia Belanda, termasuk Maluku, dikuasai oleh Inggris. Pada saat diperintah Thomas Stamford Raffl es, beberapa ketentuan pada masa VOC tidak ditegakkan, misalnya praktik monopoli dagang, terutama cengkih dan kerja rodi. Pada 1817, Belanda kembali berkuasa di Maluku. Aturan-aturan yang menindas kembali diberlakukan, seperti aturan kerja paksa dan monopoli perdagangan cengkih. Selain itu, Residen Saparua yang baru, J.R van den Berg, juga dianggap tidak peka terhadap keluhan rakyat. Belanda memaksa para pemuda untuk menjadi soldadu (tentara) yang akan ditugaskan ke Jawa.
2) Perlawanan Rakyat Jawa
Perang melawan kolonialisme di Jawa tengah dan timur ini dipimpin oleh Pangeran Diponegoro dan berlangsung antara tahun 1825-1830. Salah satu yang melatarbelakangi terjadinya perang ini adalah penetapan berbagai pajak oleh pemerintah kolonial Belanda yang membuat rakyat menderita, misalnya gerbang-gerbang pajak didirikan di pintu masuk pasar dan dekat jembatan. Pengaruh Belanda dalam urusan tata pemerintahan Mataram semakin besar. Hal ini tidak terlepas dari adanya konfl ik internal di Istana Mataram, yakni pertentangan antara bangsawan dan perebutan takhta kerajaan.
Konflik ini dapat terjadi karena Belanda menerapkan strategi devide et impera. Hal dapat terlihat dari terpecahnya wilayah Mataram setelah perjanjian Giyanti pada 1755 menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta yang menandai berakhirnya kekuasaan Mataram sebaai satu kesatuan politik dan Wilayah. Pada tahun 1757, di bawah Perjanjian Salatiga, Kesultanan Mataram dipecah lagi menjadi lagi menjadi tiga, yakni Kesultanan Yogyakarta, Kesunanan Surakarta, dan Mangkunegaran.
Pada 1813, Kesultanan Yogyakarta dipecah menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Pakualaman. Sebelum perlawan Diponegoro dimulai, terjadi kekisruhan di Istana Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono II atau Sultan Sepuh (1792-1810) memecat para pembesar istana dan mengantinya dengan orang-orang kepercayaannya. Kanjeng Ratu Ageng, permaisuri Sultan Hamengku Buwono I, yang merupakan nenek Pangeran Diponegoro tidak menyujui tindakan ini. Kanjeng Ratu Ageng beserta Pangeran Diponegoro yang saat itu masih berusia 6 tahun kemudian memutuskan untuk meninggalkan istana menuju Tegalrejo.
3) Perlawanan Rakyat Palembang
Latar belakang munculnya perlawanan Sultan Baharuddin adalah keinginan Belanda untuk menguasai Palembang yang letaknya strategis dan kaya akan barang (Kepulauan Bangka Belitung). Hal ini menimbulkan ancaman bagi Kesultanan Palembang. Sultan Baharuddin memimpin perlawanan terhadap kolonial Belanda dengan menyerang bentengbenteng pertahanan Belanda.
Ketika terjadi pergantian kekuasaan akibat Perjanjian Tuntang 1811, kedudukan Belanda digantikan oleh Inggris, Inggris memusatkan sebagian besar perhatianny ke pulau Jawa. Kondisi ini dimanfaatkan oleh Baharuddin. Diam-diam ia menyerang garnisum Belanda di Palembang. Baharuddin juga menentang keberadaan inggris di wilayyah kekusaannya. Mengetahui sikap tidak kooperatif Baharuddin, Inggris menyerang Palembang tahun 1812, menjarah isi Istana, serta melantik adik Baharuddin menjadi Sultan dengan gelar Sultan Ahmad Najamuddin.
4) Perlawanan Rakyat Sumatra Barat
Perang Padri Perang Padri adalah perang yang berangsung di Sumatra Barat dan sekitarnya, terutama di kawasan Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838. Bermula dari konfl ik internal masyarakat Minangkabau antara golongan adat dan golongan ulama, perang ini akhirnya berubah menjadi perang melawan pemerintah kolonial Belanda.
Latar belakang Perang Padri karena kaum Padri menganggap kaum adat meskipun beragama Islam, mereka masih melakukan hal-hal yang dilarang dalam agama Islam, seperti berjudi, dan mabuk-mabukan. Kaum Padri berniat untuk memperbaiki kondisi tersebut. Pemerintah kolonial Belanda memanfaatkan konfl ik tersebut dengan memberi bantuan kepada kaum adat dalam menghadapi kaum Padri. Dalam pelariannya, Tuanku Imam Bonjol masih sempat berupaya membangun kekuatan kaum Padri kembali, tetapi gagal.
5) Perlawanan Rakyat Bali
Latar belakang munculnya perlawanan rakyat Bali di bawah pimpinan Patih Ketut Jelantik adalah adanya hak tawan karan yang dianggap merugikan Belanda. Hak tawan karang adalah hak yang dimiliki kerajaan-kerajaan Bali untuk merampas seluruh muatan dan penumpang kapal-kapal asing yang karam di perairan Bali. Hak tawan karang dianggap menghambat Belanda yang ingin menguasai Bali.
Pada 1839, Belanda meminta kepada semua raja di Bali untuk menghapus hak itu. Sebagai gantinya, Belanda akan membayar sejumlah uang untuk setiap kapal yang terdampar di pantai Bali. Raja-raja Bali menyetujui permintaan Belanda. Namun, dalam kenyataannya, Belanda tidak pernah menepati janjinya untuk memberikan uang untuk setiap kapal yang terdampar. Pada 1844, Raja Buleleng I Gusti Ngurah Made Karangasem merampas kapal Belanda yang secara kebetulan terdampar di Pantai Buleleng. Belanda mengultimatum agar seluruh muatan kapal yang yang telah dirampas dikemballikan pada Belanda.
Jelantik kemudian membangun persekutuan dengan kerajaan-kerajaan lain, seperti Karangasem, Klungkung, Mengwi, dan Gianyar. Dari benteng pertahanannya di Jagaraga (Buleleng), pasukan gabungan dari kerajaan-kerajaan Bali menyerang pos-pos Belanda di wilayah kerajaan tersebut serta menawan para serdadunya.
6) Perlawanan Rakyat Kalimantan
Latar Belakang terjadinya Perang Banjar (1859-1905) antara lain karena monopoli perdagangan Belanda di Kalimantan yang sangat merugikan pedagang pribumi. Selain itu, karena beban pajak dan kewajiban rodi terhadap rakyat yang memberatkan dan intervensi Belanda terhadap urusan internal Kerajaan Banjar. Tokoh perlawanan di Banjar adalah Pangeran Antasari, sepupu Pangeran Hidayatullah.
Pangeran Antasari memimpin serangan terhadap Belanda berkali-kali. Pasukannya berhasil menyerang pos-pos pertahanan Belanda da benteng Belanda di Tabanio hingga menenggelamkan kapal-kapal Belanda. Oleh pengikutnya, Pangeran Antasari mendapatkan julukan Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin.
7) Perlawanan Rakyat Sumatra Utara
Latar Belakang munculnya perlawanan rakyat Tapanuli adalah sikap Belanda yang menginginkan wilayah Tanapuli menjadi bagian dari wilayah kekuasaannya. Raja Sisingamangaraja XII menolak keinginan Belanda membentuk Pax Neerlandica (ambisi Belanda untuk menguasai seluruh Nusantara) dan membebaskannya dari segala pengaruh dan intervensi negaranegara lain dan menginginkan Kerajaan Batak tetap berdiri merdeka, bukan dibawah kekuasaan Belanda. Keinginan Belanda tersebut menyebabkan terjadinya perang Tapanuli (1870-1907).
8) Perlawanan Rakyat Aceh
Perlawanan rakyat Aceh terhadap kolonialisme sebenarnya telah dilakukan sejak abad XVII, yaitu ketika Aceh berada di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda yang memerintah sejak tahun 1629- 1641. Pada abad XIX, perlawanan Aceh dipimpin oleh Sultan Alauddin Muhammad Daud Syah. Perlawanan ini dilatarbelakangi oleh keingingan Belanda untuk menjadikan Aceh sebagai bagian dari Pax Neerlandica.
E. ISLAM SEBAGAI FAKTOR UTAMA PEMBANGKIT KESADARAN NASIONAL INDONESIA
Sejarah Indonesia mencatat bahwa pelopor gerakan kebangkitan adalah Boedi Oetomo yang didirikan pada 20 Mei 1908. Ini merupakan kesalahan sejarah yang sangat fatal dikarenakan dalam realitas sejarahnya, pada tanggal 6-9 April 1928 justru keputusan Kongres Boedi Oetomo di Surakarta, dengan jelas menolak cita – cita persatuan Indonesia. Alasan penolakan tersebut disebabkan Boedi Oetomo lebih mengutamakan system keanggotaannya yang terbatas hanya bangsawan suku Jawa saja, serta gerakannya sebagai gerakan Djawanisme. Ditandaskan bahwa terbentuknya integritas nasional dan tumbuhnya kesadaran nasional di Indonesia, dipengaruhi oleh beberapa faktor, sebagai berikut :
a) Factor terbentuknya kesatuan agama bangsa Indonesia. Agama Islam yang dianut oleh 90 % penduduk Indonesia sehingga timbulnya ukhuwah Islamiyah yang kuat akan perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialism.
b) Factor Islam sebagai symbol perlawanan terhadap penjajah asing Barat.
c) Factor perkembangan Bahasa Melayu Pasar berubah menjadi Bahasa Persatuan Indonesia.
F. JAMI’ATUL KHAIR SEBAGAI TONGGAK UPAYA PERLAWANAN TERHADAP PENJAJAH DI BIDANG PENDIDIKAN ISLAM
Organisasi sosial yang berperan dalam melakukan perubahan sistem atau lembaga pendidikan Islam terutama di Jakarta. Lengkapnya Al-Jamiatul Khairiyah. Merupakan organisasi pendidikan Islam tertua di Jakarta, didirikan Senin Kliwon, 17 Juli 1905 dengan peran besar para ulama asal Arab Hadramaut dan juga pemuda Alawiyyin, seperti :
Sayyid Al-Fachir bin Abdorrrahman Al-Masjhoer
Sayyid Mohammad bin Abdoellah bin Shihab
Sayyid Idroes bin Achmad bin Shihab
Sayyid Sjehan bin Shihab
Sebenarnya pada tahun 1901 Jamiatul Khair belum mendapat izin dari pemerintah Belanda. Tujuan organisasi adalah mengembangkan pendidikan agama Islam dan bahasa Arab. Oleh karena perhimpunan tersebut kekurangan tenaga guru, maka pada konggresnya tahun 1911, diantara satu keputusannya adalah memasukkan guru-guru agama dan Bahasa Arab dari luar negeri. Kemajuan Jamiatul Khair tersebut menambah kepercayaan masyarakat Islam di Jakarta (dan Jawa umumnya) serta daerah sekitarnya.
Organisasi Pembaharuan Islam ini berkantor di daerah Pekojan di Tanjung Priok (Jakarta). Oleh karena perkembangannya dari waktu ke waktu semakin pesat, maka pusat organisasi ini dipindahkan dari Pekojan ke Jl. Karet, Tanah Abang. Organisasi ini dikenal banyak melahirkan tokoh-tokoh Islam, terdiri dari tokoh-tokoh gerakan pembaharuan agama Islam antara lain, Kyai Haji Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), HOS Tjokroaminoto (pendiri Syarikat Islam), H. Samanhudi (tokoh Sarekat Dagang Islam), dan H. Agus Salim. Bahkan beberapa tokoh perintis kemerdekaan juga merupakan anggota atau setidaknya mempunyai hubungan dekat dengan Jamiatul Khair.
Awalnya memusatkan usahanya pada pendidikan, namun kemudian memperluasnya dengan dakwah dan penerbitan surat kabar harian Utusan Hindia di bawah pimpinan Haji Umar Said Cokroaminoto (Maret 1913). Kegiatan organisasi juga meluas dengan mendirikan Panti Asuhan Piatu Daarul Aitam. Di Tanah Abang, Habib Abubakar bersama sejumlah Alawiyyin juga mendirikan sekolah untuk putra (aulad) di Jl. Karet dan putri (banat) di Jl. Kebon Melati serta cabang Jamiatul Khair di Tanah Tinggi Senen.
Pemimpin-pemimpin Jamiatul Khair mempunyai hubungan yang luas dengan luar negeri, terutama negeri-negeri Islam seperti Mesir dan Turki. Mereka mendatangkan majalah-majalah dan surat-surat kabar yang dapat membangkitkan nasionalisme Indonesia, seperti Al-Mu'ayat, Al-Liwa, Al-ittihad dan lainnya. Tahun 1903 Jamiatul Khair mengajukan permohonan untuk diakui sebagai sebuah organisasi atau perkumpulan dan tahun 1905 permohonan itu dikabulkan oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan catatan tidak boleh membuka cabang-cabangnya di luar di Batavia.
UNIT 2
A. KOBARKAN SEMANGAT BERJUANG DAN BERSATU
Perkembangan pendidikan di Indonesia melahirkan golongan cendekiawan. Golongan ini mengakibatkan terjadinya perubahan pola pikir dalam masyarakat Indonesia. Golongan cendekiawan telah menyadarkan rakyat Indonesia untuk bersatu dalam menghadapi kekuasaan Hindia Belanda. Golongan cendekiawan inilah yang mengubah perjuangan bangsa Indonesia dengan menggunakan strategi yang modern. Masa ini dikenal sebagai masa “pergerakan nasional”.
Pergerakan nasional ditandai dengan munculnya perubahan perjuangan bangsa Indonesia untuk mengusir bangsa barat. Hal ini ditandai dengan munculnya organisasi pergerakan naisonal, diantaranya sebagai berikut:
1) Jami’atul Khair
Organisasi sosial yang berperan dalam melakukan perubahan sistem atau lembaga pendidikan Islam terutama di Jakarta. Lengkapnya Al-Jamiatul Khairiyah. Merupakan organisasi pendidikan Islam tertua di Jakarta, didirikan Senin Kliwon, 17 Juli 1905 dengan peran besar para ulama asal Arab Hadramaut dan juga pemuda Alawiyyin, seperti :
Sayyid Al-Fachir bin Abdorrrahman Al-Masjhoer
Sayyid Mohammad bin Abdoellah bin Shihab
Sayyid Idroes bin Achmad bin Shihab
Sayyid Sjehan bin Shihab
Sebenarnya pada tahun 1901 Jamiatul Khair belum mendapat izin dari pemerintah Belanda. Tujuan organisasi adalah mengembangkan pendidikan agama Islam dan bahasa Arab. Oleh karena perhimpunan tersebut kekurangan tenaga guru, maka pada konggresnya tahun 1911, diantara satu keputusannya adalah memasukkan guru-guru agama dan Bahasa Arab dari luar negeri. Kemajuan Jamiatul Khair tersebut menambah kepercayaan masyarakat Islam di Jakarta (dan Jawa umumnya) serta daerah sekitarnya.
Organisasi Pembaharuan Islam ini berkantor di daerah Pekojan di Tanjung Priok (Jakarta). Oleh karena perkembangannya dari waktu ke waktu semakin pesat, maka pusat organisasi ini dipindahkan dari Pekojan ke Jl. Karet, Tanah Abang. Organisasi ini dikenal banyak melahirkan tokoh-tokoh Islam, terdiri dari tokoh-tokoh gerakan pembaharuan agama Islam antara lain, Kyai Haji Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), HOS Tjokroaminoto (pendiri Syarikat Islam), H. Samanhudi (tokoh Sarekat Dagang Islam), dan H. Agus Salim. Bahkan beberapa tokoh perintis kemerdekaan juga merupakan anggota atau setidaknya mempunyai hubungan dekat dengan Jamiatul Khair.
2) Sarekat Dagang Islam
Pada tahun 1911 di Laweyan (Surakarta) didirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) oleh saudagar kaya raya yang bernama H. Samanhudi. Latar belakang didirikan SDI adalah terjadinya persaingan perdagangan antara pedagang pribumi dan pedagang Cina atau Tionghoa. Tujuan SDI untuk menghimpun pedagang pribumi agar mampu bersaing dengan pedagang asing, selain itu tujuan utamanya adalah menghimpun sumber dana ekonomi kaum muslimin dalam upaya keluar dari bingkai penjajahan.
3) Sarekat Islam
Sarekat Islam pada awalnya bernama Sarekat Dagang Islam yang didirikan pada tahun 1911 di Solo oleh R.M. Tirtoadisuryo. Pada tahun 1912 diganti menjadi Sarekat Islam oleh H. Samanhudi. Latar-belakang ekonomi dan politis didirikannya Sarekat Islam adalah sebagai bentuk perlawanan terhadap golongan pedagang Cina yang melakukan monopoli perdagangan batik, dan dalam rangka menghadapi semua bentuk penindasan, penghinaan, serta kesombongan rasialis baik dari orang-orang Cina maupun kolonialis Belanda. Selain itu juga memiliki tujuan dasar sebagai penghimpun kekuatan politik Islam dalam memerdekakan bangsa Indonesia dari para penjajah.
4) Indische Partij
Indische Partïj (IP) didirikan pada tanggal 25 Desember 1912 di Bandung. Tokoh pendiri IP sering juga disebut “Tiga Serangkai” yaitu E.F.E. Douwes Dekker (Setyabudi), Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) dan Cipto Mangunkusumo. Dilihat dari anggaran dasar dan program kerjanya, IP bertujuan menumbuhkan dan meningkatkan jiwa integrasi semua golongan untuk memajukan tanah air yang dilandasi jiwa nasional, serta mempersiapkan diri ke arah kehidupan rakyat merdeka.
Setelah adanya Congres Centraal Sarekat Islam Pertama – 1e Natico, 1916 M, berubah nama menjadi National Indische Partij, 1919 M, . EF.E. Douwes Dekker (Setyabudi) pernah berkata : “Jika tidak karena sikap dan semangat perjuangan para ulama, sudah lama patriotism dikalangan bangsa kita mengalami kemusnahan”.
5) Muhammadiyah
Muhammadiyah merupakan organisasi yang bersifat keagamaan, didirikan oleh K.H. Achmad Dahlan pada tanggal 18 November 1912 di Yogyakarta. Tujuan dari organisasi ini adalah memurnikan ajaran Islam sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad SAW. Untuk mencapai tujuan tersebut, Muhammadiyah bergerak dalam pendidikan keagamaan, seperti :
Memurnikan ajaran Islam serta menjauhkan dari Tahayyul, Bid’ah, dan Khurafat.
Sebagai tonggak awal melepaskan diri dari penjajahan.
Mengadakan kegiatan-kegiatan sosial dan budaya;
Mendirikan sekolah-sekolah keagamaan;
Mengadakan dakwah-dakwah keagamaan.
UNIT 3
A. AKAR – AKAR LAHIRNYA DEMOKRASI
Pandangan Demokrasi Menurut Para Pendiri Bangsa Di Indonesia demokrasi sudah diperbincangkan oleh para pendiri Negara sejak sebelum proklamasi kemerdekaan. Perbincangan tersebut telah menghasilkan konsesus bahwa Negara Indonesia harus berdasarkan kedaulatan rakyat. Para pendiri Negara (The Founding Fathers) kita umumnya menyetujui bahwa Negara Indonesia yang akan didirikan hendaknya Negara demokrasi.
Ada kesamaan pandangan dan konsesus politik dari para pendiri negara bahwa kenegaraan Indonesia harus ber-dasar kerakyatan/kedaulatan rakyat atau demo-krasi. Jadi cita-cita atau ide demokrasi itu ada pada para the founding fathers bangsa. Mereka bersepakat bahwa Negara Indonesia jika sudah merdeka haruslah menjadi negara demokrasi. Pandangan para pendiri bangsa tentang negara demokrasi itu diungkapkan oleh Muhammad Hatta, H.O.S Cokroaminoto, dan Ir. Soekarno.
Perdebatan Mengenai Konsep Demokrasi Contoh perdebatan mengenai konsep demokrasi dalam sejarah modern Indoenesia dapat ditelurusi pada sidang BPUPKI antara bulan Mei sampai Juli 1945. Meskipun pemikiran demokrasi telah ada pada para pemimpin bangsa sebelumnya, namun pada momen tersebut, pemikiran mengenai demokrasi semakin mengkristal menjadi wacana publik dan politis. Ada kesamaan pandangan dan konsesus politik dari para peserta sidang BPUPKI bahwa Negara Indonesia harus berdasarkan kerakyatan/ kedaulatan rakyat atau demokrasi.
Namun terdapat pandangan yang berbeda mengenai bagaimana seharusnya cita-cita demokrasi itu diterapkan dalam pemerintahan negara. Pada momen sidang itu diperdebatkan apakah hak-hak demokratis warga negara perlu diberi jaminan undang-undang dasar atau tidak. Pandangan pertama diwakili oleh Prof. Dr. Soepomo dan Ir. Soekarno yang secara gigih menentang dimasukkannya hak-hak tersebut dalam konstitusi. Pandangan kedua diwakili oleh Moh. Hatta dan Moh. Yamin yang memandang perlunya pencantuman hak-hak warga dalam undang-undang dasar.
B. PERKEMBANGAN DEMOKRASI INDONESIA
Perkembangan Demokrasi Indonesia Demokrasi merupakan system pemerintahan dimana rakyat memegang kedaulatan tertinggi, baik secara langsung maupun melalui perwakilan. Sistem pemerintahan demokrasi banyak dianut oleh negaranegara yang memiliki bentuk pemerintahan republic, diantaranya sebagai berikut :
1) Demokrasi pada awal kemerdekaan
Awal kemerdekaan, Indonesia belum dapat mengatur system pemerintahannya. Hal ini dikarenakan masih harus menghadapi sejum-lah tantangan dan hambatan yang harus diakhiri dengan konfl ik bersenjata.
2) Demokrasi Liberal di Indonesia
Setelah RIS bubar dan Indonesia kembali menjadi negara kesatuan pada tahun 1950. Pemerintah Indonesia masih menggunakan model demokrasi parlementer yang liberal.
3) Demokrasi Pancasila di Indonesia
Demokrasi pancasila adalah paham demkorasi yang bersumber pada kepribadian dan falsafah hidup bangsa Indonesia, yang digali dari kepribadian bangsa Indonesia. Dampak demokasi pancasila pada bidang ekonomi adalah demokrasi pancasila menuntut rakyat menjadi subyek dalam pembangunaan ekonomi.
Materinya sangat membantu sekali, mantap!
ReplyDelete